Rabu, 30 Mei 2012

SEJARAH KABUPATEN SLEMAN

Mengungkap sejarah merupakan perjalanan yang rumit dan melelahkan. Setidaknya pengalaman tersebut dapat dipetik dari upaya Dati II Sleman untuk menentukan hari jadinya. Setelah melalui penelitian, pembahasan, dan perdebatan bertahun-tahun, akhirnya hari jadi Kabupaten Dati II Sleman disepakati. Perda no.12 tahun 1998 tertanggal 9 Oktober 1998, metetapkan tanggal 15 (lima belas) Mei tahun 1916 merupakan hari jadi Sleman. Di sini perlu ditegaskan bahwa hari jadi Sleman adalah hari jadi Kabupaten Sleman, bukan hari jadi Pemerintah Kabupaten Dati II Sleman. Penegasan ini diperlukan mengingat keberadaan Kabupaten Sleman jauh sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagai wujud lahirnya negara Indonesia modern, yang memunculkan Pemerintah Kabupaten Dati II Sleman.
Keberadaan hari jadi Kabupaten Sleman memiliki arti penting bagi masyarakat dan pemerintah daerah untuk memantapkan jati diri, sebagai landasan yang menjiwai gerak langkah ke masa depan. Penetapan hari jadi ini akan melengkapi identitas yang saat ini dimiliki Kabupaten Sleman.
Dalam perhitungan Almanak, hari jadi Kabupaten Sleman jatuh pada hari Senin Kliwon, tanggal 12 (dua belas) Rejeb tahun Je 1846 Wuku Wayang. Atas dasar perhitungan tesebut ditentukan surya sengkala (perhitungan tahun Masehi) Rasa Manunggal Hanggatra Negara yang memiliki arti Rasa = 6, manunggal = 1, Hanggatra = 9, Negara = 1, sehingga terbaca tahun 1916. Sementara menurut perhitungan Jawa (Candra Sengkala) hari jadi Kabupaten Sleman adalah Anggana Catur Salira Tunggal yang berarti Anggana = 6, Catur = 4, Salira = 8, Tunggal = 1, sehingga terbaca tahun 1846. Kepastian keberadaan hari jadi Kabupaten Sleman didasarkan pada Rijksblad no. 11 tertanggal 15 Mei 1916. Penentuan hari jadi Kabupaten Sleman dilakukan melalui penelaahan berbagai materi dari berbagai sumber informasi dan fakta sejarah.

Adapun dasar-dasar pertimbangan yang digunakan adalah:
  1. Usia penamaan yang paling tua Mampu menumbuhkan perasaan bangga dan mempunyai    keterkaitan batin yang kuat terhadap masyarakat.
  2. Memiliki ciri khas yang mampu membawa pengaruh nilai budaya .
  3. Bersifat Indonesia sentris, yang dapat semakin menjelaskan peranan ciri keindonesiaan tanpa menyalahgunakan obyektivitas sejarah.
  4. Mempunyai nilai historis yang tinggi, mengandung nilai dan bukti sejarah yang dapat  membangun semangat dan rasa kagum atas jasa dan pengorbanan nenek moyang kita.
  5. Merupakan peninggalan budaya Jawa yang murni, tidak terpengaruh oleh budaya  kolonial


Periode 1916-1945

Secara administratif, keberadaan Kabupaten Sleman dapat dilacak pada Rijksblad no. 11 tahun 1916 yang membagi wilayah Kasultanan Yogyakarta (Mataram) dalam 3 Kabupaten, yakni Kalasan, Bantul, dan Sulaiman (yang kemudian disebut Sleman), dengan seorang bupati sebagai kepala wilayahnya. Secara hierarkhis, Kabupaten membawahi distrik yang dikepalai seorang Panji.
Dalam Rijksblad tersebut juga disebutkan bahwa kabupaten Sulaiman terdiri dari 4 distrik yakni : Distrik Mlati (terdiri 5 onderdistrik dan 46 kalurahan), Distrik Klegoeng (terdiri 6 onderdistrik dan 52 kalurahan), Distrik Joemeneng (terdiri 6 onderdistrik dan 58 kalurahan), Distrik Godean (terdiri 8 onderdistrik dan 55 kalurahan).
Pada tahun yang sama, berturut-turut dikeluarkan Rijksblad no.12/1916, yang menempatkan Gunung Kidul sebagai kabupaten keempat wilayah Kasultanan Yogyakarta. Kemudian disusul dengan Rijksblad no. 16/1916 yang mengatur keberadaan Kabupaten Kota. Sedangkan Rijksblad 21/1916 mengatur keberadaan kabupaten Kulon Progo. Dengan demikian, pada tahun tersebut wilayah Kasultanan Yogyakarta berkembang dari 3 kabupaten menjadi 6 Kabupaten.
Pembagian wilayah Kesultanan Yogyakarta tersebut ternyata pada tahun 1927 mengalami penyederhanaan melalui munculnya Rijksblad no. 1/1927. Enam Kabupaten yang terdapat di wilayah kasultanan disederhanakan menjadi 4 kabupaten yakni: Kabupaten Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulon Progo dan Gunung Kidul. Dalam hal ini, Kabupaten Sleman mengalami penurunan status menjadi distrik Kabupaten Yogyakarta.
Pada tahun 1940, wilayah Kasultanan Yogyakarta mengalami reorganisasi dengan munculnya Rijksblad Van Jogjakarta no. 13/1940 tanggal 18 Maret 1940. Rijksblad tersebut membagi wilayah kasultanan Yogyakarta tetap dalam 4 Kabupaten dengan pemampatan pada distrik masing-masing kabupaten.
  • Kabupaten Yogyakarta, terdiri 2 (dua) distrik (Distrik Kota dan Distrik Sleman).
  • Kabupaten Sleman yang terdiri 4 (empat) distrik.
  • Kabupaten Kulon Progo terbagi 2 (dua) distrik.
  • Kabupaten Gunung Kidul terbagi 3 (tiga) distrik.
Pembagian wilayah tersebut tidak berlangsung lama, karena pada tahun 1942 dengan Jogjakarta Kooti, Kasultanan Yogyakarta lebih memerinci wilayahnya sebagai berikut:
  1. Kabupaten Yogyakarta dengan Bupati KRT. Harjodiningrat. Kabupaten Yogyakarta dibagi menjadi 3 (tiga) Kawedanan, yakni kawedanan Sleman dengan penguasa R. Ng. Pringgo Sumadi dan Kawedanan Kalasan dengan penguasa R. Ng. Pringgo Biyono.
  2. Kabupaten Bantul (Ken) dengan Bupati KRT. Dirjokusumo dan wilayahnya dibagi menjadi 4 (empat) kawedanan yakni Bantul, Kotagede, Godean dan Pandak.
  3. Kabupaten Gunung Kidul dengan Bupati KRT. Djojodiningrat dan wilayahnya terbagi menjadi 3 (tiga) kawedanan yakni Wonosari, Playen dan Semanu.
  4. Kabupaten Kulon Progo dengan Bupati KRT. Pringgohadingrat, dengan wilayah yang terbagi menjadi 2 (dua) kawedanan yaitu Nanggulan dan Sentolo.
Pada tanggal 8 April 1945 Sri Sultan Hamengkubuwono IX melakukan penataan kembali wilayah Kasultanan Yogyakarta melalui Jogjakarta Koorei angka 2 (dua). Dalam Koorei tersebut dinyatakan wilayah Kasultanan Yogyakarta dibagi menjadi lima Kabupaten yakni Kabupaten Kota Yogyakarta (Yogyakarta Syi), Kabupaten Sleman (Sleman Ken), Kabupaten Bantul (Bantul Ken), Kabupaten Gunung Kidul (Gunung Kidul Ken) dan Kabupaten Kulon Progo (Kulon Progo Ken). Penataan ini menempatkan Sleman pada status semula, sebagai wilayah Kabupaten.

Periode 1945-1947

Jogjakarta Koorei angka 2 (8 April 1945) menjadikan Sleman sebagai pemerintahan Kabupaten untuk kedua kalinya dengan KRT Pringgodiningrat sebagai bupati. Pada masa itu, wilayah Sleman membawahi 17 kapewon (Son) yang terdiri dari 258 kalurahan (Ku). Ibu kota kabupaten berada di wilayah utara, yang saat ini dikenal sebagai desa Triharjo (Kecamatan Sleman).
Bila dibandingkan dengan pemerintahan kabupaten lainnya di tanah Jawa, infrastruktur yang dimiliki Sleman sangat terbatas. Fasilitas yang dimiliki adalah gedung pusat pemerintahan, pasar (yang saat ini dikenal sebagai pasar Sleman), masjid (masjid Sleman) dan stasiun kereta api (lokasinya sudah berubah menjadi taman segi tiga Sleman). Sedangkan infastruktur seperti alun-alun, penjara, markas prajurit dsbnya, sebagai syarat ibukota, tidak dimiliki.
Di era revolusi, para pegawai pemerintah meninggalkan ibukota Sleman ikut keluar kota mengatur strategi. Dalam keadaan demikian perkantoran pemerintahan Kabupaten Sleman menjadi sepi dan terjadi “bumi angkut” oleh gerombolan masyarakat yang tidak bertanggungjawab. Akibatnya gedung-gedung pemerintah tidak layak lagi menjadi tempat pelayanan masyarakat.

Periode 1945-1947

Dalam kondisi gedung-gedung pelayanan masyarakat yang memprihatinkan, Bupati Sleman KRT Pringgodiningrat pada tahun 1947 memindahkan pusat pelayanan kabupaten ke Ambarukmo, di Petilasan Dalem serta bekas pusat pendidikan perwira polisi yang pertama di Indonesia (saat ini pendopo hotel Ambarukmo). Dalam hal ini, Ambarukmo merupakan pusat kegiatan pelayanan pemerintahan, bukan ibukota kabupaten.
Pada tahun yang sama Bupati KRT Pringgodiningrat diganti oleh KRT Projodiningrat. Dalam periode ini, tepatnya tahun 1948, wilayah Kasultanan Yogyakarta mulai melaksanakan pemerintahan formal. Sesuai dengan UU no. 22 Tahun 1948, penyebutan wilayah Kabupaten Sleman adalah Kabupaten Sleman.
Pada tahun 1950 Bupati KRT Projodiningrat digantikan oleh KRT Dipodiningrat hingga tahun 1955. Selanjutnya, KRT Dipodiningrat digantikan oleh KRT Prawirodiningrat, yang menjabat Bupati Sleman hingga tahun 1959.
Pada masa itu pemerintah RI mengeluarkan UU no. 1 tahun 1957 mengenai Pembagian Daerah Republik Indonesia dan Aturan Otonomi Daerah, maka penyebutan Kabupaten Sleman berubah menjadi daerah Swatantra. Sebagai implementasinya Departemen Dalam Negeri menerbitkan peraturan bahwa selain memiliki seorang Bupati yang diangkat secara sektoral sebagai pegawai Kementrian Dalam Negeri, Kabupaten juga harus memiliki kepala daerah yang dipilih legislatif (DPRD).
Dengan kata lain, dalam periode pemerintahan ini, sebuah kabupaten memiliki 2 (dua) Kepala Daerah. Terpilih sebagai Kepala Daerah Swatantra adalah Buchori S. Pranotodiningrat. Seiring terbitnya Penetapan Presiden no. 6 Tahun 1959 dan no. 5 Tahun 1960, untuk memberlakukan kembali UUD 1945, pemerintahan Kabupaten Sleman kembali dikepalai seorang Bupati/Kepala Daerah, yang dijabat oleh KRT. Murdodiningrat.

Periode 1964-Sekarang

Periode 1964-sekarang
 Pada tahun 1964, KRT Murdodiningrat memindahkan pusat pemerintahan ke Dusun Beran, Desa Tridadi Kecamatan Sleman. Lokasinya menempati bangunan kantor Bappeda Sleman (sekarang). Pada masa ini pula Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman mulai memiliki lambang daerah.
 Munculnya UU no. 18 tahun 1965 mengenai Hak Otonomi Daerah ditindaklanjuti DPRD Gotong Royong Daerah Tingkat II Sleman dengan menerbitkan SK. no. 19/1966 yang mengubah sebutan Pemerintah Daerah Tingkat II Sleman menjadi Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman, dan DPRD Gotong Royong Tingkat II Sleman menjadi DPRD Gotong Royong Kabupaten Sleman. Pada masa tersebut ketua DPRD Gotong Royong dijabat Soekirman Tirtoatmodjo.
Seiring berakhirnya masa keanggotaan DPRD Gotong Royong pada tahun 1971, jabatan ketua DPRD digantikan oleh Soelanto. Selanjutnya pada tahun 1974, UU no. 18 tahun 1965 digantikan UU no. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah. Berorientasi pada Undang-undang ini pemerintahan daerah Sleman menggunakan penyebutan Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Sleman.
Pada tahun 1974 KRT. Murdodiningrat digantikan oleh KRT Tedjo Hadiningrat, yang hanya menjabat selama 3 bulan. Selanjutnya posisi bupati dijabat Drs. KRT. H. Prodjosuyoto Hadiningrat, yang menjabat 2 periode (th.1974-1985) dengan 2 kali penggantian ketua DPRD. Pada tahun 1977, posisi Soelanto sebagai ketua DPRD digantikan oleh R. Soelarjo hingga tahun 1982, yang selanjutnya digantikan Samingan H.S.
 Pada tahun 1985 Drs. KRT. H. Prodjosuyoto Hadiningrat digantikan Drs. Samirin, yang menjabat selama satu periode (1985-1990). Pada masa jabatannya, Drs. Samirin mengalami sekali pergantian ketua DPRD Sleman yakni pada tahun 1987, Samingan H. S. digantikan Letkol. Sudiyono, yang menjabat 2 periode masa jabatan (1987-1997).






Sumber : Pemerintah Kab. Sleman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar