Mengungkap sejarah merupakan perjalanan yang rumit dan
melelahkan. Setidaknya pengalaman tersebut dapat dipetik dari upaya Dati
II Sleman untuk menentukan hari jadinya. Setelah melalui penelitian,
pembahasan, dan perdebatan bertahun-tahun, akhirnya hari jadi Kabupaten
Dati II Sleman disepakati. Perda no.12 tahun 1998 tertanggal 9 Oktober
1998, metetapkan tanggal 15 (lima belas) Mei tahun 1916 merupakan hari
jadi Sleman. Di sini perlu ditegaskan bahwa hari jadi Sleman adalah hari
jadi Kabupaten Sleman, bukan hari jadi Pemerintah Kabupaten Dati II
Sleman. Penegasan ini diperlukan mengingat keberadaan Kabupaten Sleman
jauh sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagai wujud lahirnya negara
Indonesia modern, yang memunculkan Pemerintah Kabupaten Dati II Sleman.
Keberadaan hari jadi Kabupaten Sleman memiliki arti penting bagi
masyarakat dan pemerintah daerah untuk memantapkan jati diri, sebagai
landasan yang menjiwai gerak langkah ke masa depan. Penetapan hari jadi
ini akan melengkapi identitas yang saat ini dimiliki Kabupaten Sleman.
Dalam perhitungan Almanak, hari jadi Kabupaten Sleman jatuh pada hari
Senin Kliwon, tanggal 12 (dua belas) Rejeb tahun Je 1846 Wuku Wayang.
Atas dasar perhitungan tesebut ditentukan surya sengkala (perhitungan
tahun Masehi) Rasa Manunggal Hanggatra Negara yang memiliki arti Rasa =
6, manunggal = 1, Hanggatra = 9, Negara = 1, sehingga terbaca tahun
1916. Sementara menurut perhitungan Jawa (Candra Sengkala) hari jadi
Kabupaten Sleman adalah Anggana Catur Salira Tunggal yang berarti
Anggana = 6, Catur = 4, Salira = 8, Tunggal = 1, sehingga terbaca tahun
1846. Kepastian keberadaan hari jadi Kabupaten Sleman didasarkan pada
Rijksblad no. 11 tertanggal 15 Mei 1916. Penentuan hari jadi Kabupaten
Sleman dilakukan melalui penelaahan berbagai materi dari berbagai sumber
informasi dan fakta sejarah.
Adapun dasar-dasar pertimbangan yang digunakan adalah:
- Usia penamaan yang paling tua Mampu menumbuhkan perasaan bangga dan mempunyai keterkaitan batin yang kuat terhadap masyarakat.
- Memiliki ciri khas yang mampu membawa pengaruh nilai budaya .
- Bersifat Indonesia sentris, yang dapat semakin menjelaskan peranan ciri keindonesiaan tanpa menyalahgunakan obyektivitas sejarah.
- Mempunyai nilai historis yang tinggi, mengandung nilai dan bukti sejarah yang dapat membangun semangat dan rasa kagum atas jasa dan pengorbanan nenek moyang kita.
- Merupakan peninggalan budaya Jawa yang murni, tidak terpengaruh oleh budaya kolonial
Periode 1916-1945
Secara administratif, keberadaan Kabupaten Sleman dapat dilacak pada
Rijksblad no. 11 tahun 1916 yang membagi wilayah Kasultanan
Yogyakarta (Mataram) dalam 3 Kabupaten, yakni Kalasan, Bantul, dan
Sulaiman (yang kemudian disebut Sleman), dengan seorang bupati
sebagai kepala wilayahnya. Secara hierarkhis, Kabupaten membawahi
distrik yang dikepalai seorang Panji.
Dalam Rijksblad tersebut juga disebutkan bahwa kabupaten Sulaiman
terdiri dari 4 distrik yakni : Distrik Mlati (terdiri 5 onderdistrik
dan 46 kalurahan), Distrik Klegoeng (terdiri 6 onderdistrik dan 52
kalurahan), Distrik Joemeneng (terdiri 6 onderdistrik dan 58
kalurahan), Distrik Godean (terdiri 8 onderdistrik dan 55 kalurahan).
Pada tahun yang sama, berturut-turut dikeluarkan Rijksblad
no.12/1916, yang menempatkan Gunung Kidul sebagai kabupaten keempat
wilayah Kasultanan Yogyakarta. Kemudian disusul dengan Rijksblad no.
16/1916 yang mengatur keberadaan Kabupaten Kota. Sedangkan Rijksblad
21/1916 mengatur keberadaan kabupaten Kulon Progo. Dengan demikian,
pada tahun tersebut wilayah Kasultanan Yogyakarta berkembang dari 3
kabupaten menjadi 6 Kabupaten.
Pembagian wilayah Kesultanan Yogyakarta tersebut ternyata pada tahun
1927 mengalami penyederhanaan melalui munculnya Rijksblad no. 1/1927.
Enam Kabupaten yang terdapat di wilayah kasultanan disederhanakan
menjadi 4 kabupaten yakni: Kabupaten Yogyakarta, Kabupaten Bantul,
Kabupaten Kulon Progo dan Gunung Kidul. Dalam hal ini, Kabupaten
Sleman mengalami penurunan status menjadi distrik Kabupaten
Yogyakarta.
Pada tahun 1940, wilayah Kasultanan Yogyakarta mengalami reorganisasi
dengan munculnya Rijksblad Van Jogjakarta no. 13/1940 tanggal 18
Maret 1940. Rijksblad tersebut membagi wilayah kasultanan Yogyakarta
tetap dalam 4 Kabupaten dengan pemampatan pada distrik masing-masing
kabupaten.
- Kabupaten Yogyakarta, terdiri 2 (dua) distrik (Distrik Kota dan Distrik Sleman).
- Kabupaten Sleman yang terdiri 4 (empat) distrik.
- Kabupaten Kulon Progo terbagi 2 (dua) distrik.
- Kabupaten Gunung Kidul terbagi 3 (tiga) distrik.
Pembagian wilayah tersebut tidak berlangsung lama, karena pada tahun
1942 dengan Jogjakarta Kooti, Kasultanan Yogyakarta lebih memerinci
wilayahnya sebagai berikut:
- Kabupaten Yogyakarta dengan Bupati KRT. Harjodiningrat. Kabupaten Yogyakarta dibagi menjadi 3 (tiga) Kawedanan, yakni kawedanan Sleman dengan penguasa R. Ng. Pringgo Sumadi dan Kawedanan Kalasan dengan penguasa R. Ng. Pringgo Biyono.
- Kabupaten Bantul (Ken) dengan Bupati KRT. Dirjokusumo dan wilayahnya dibagi menjadi 4 (empat) kawedanan yakni Bantul, Kotagede, Godean dan Pandak.
- Kabupaten Gunung Kidul dengan Bupati KRT. Djojodiningrat dan wilayahnya terbagi menjadi 3 (tiga) kawedanan yakni Wonosari, Playen dan Semanu.
- Kabupaten Kulon Progo dengan Bupati KRT. Pringgohadingrat, dengan wilayah yang terbagi menjadi 2 (dua) kawedanan yaitu Nanggulan dan Sentolo.
Pada tanggal 8 April 1945 Sri Sultan Hamengkubuwono IX melakukan
penataan kembali wilayah Kasultanan Yogyakarta melalui Jogjakarta
Koorei angka 2 (dua). Dalam Koorei tersebut dinyatakan wilayah
Kasultanan Yogyakarta dibagi menjadi lima Kabupaten yakni Kabupaten
Kota Yogyakarta (Yogyakarta Syi), Kabupaten Sleman (Sleman Ken),
Kabupaten Bantul (Bantul Ken), Kabupaten Gunung Kidul (Gunung Kidul
Ken) dan Kabupaten Kulon Progo (Kulon Progo Ken). Penataan ini
menempatkan Sleman pada status semula, sebagai wilayah Kabupaten.
Periode 1945-1947
Jogjakarta Koorei angka 2 (8 April 1945) menjadikan Sleman sebagai pemerintahan Kabupaten untuk kedua kalinya dengan KRT Pringgodiningrat
sebagai bupati. Pada masa itu, wilayah Sleman membawahi 17 kapewon
(Son) yang terdiri dari 258 kalurahan (Ku). Ibu kota kabupaten berada
di wilayah utara, yang saat ini dikenal sebagai desa Triharjo
(Kecamatan Sleman).
Bila dibandingkan dengan pemerintahan kabupaten lainnya di tanah
Jawa, infrastruktur yang dimiliki Sleman sangat terbatas. Fasilitas
yang dimiliki adalah gedung pusat pemerintahan, pasar (yang saat ini
dikenal sebagai pasar Sleman), masjid (masjid Sleman) dan stasiun
kereta api (lokasinya sudah berubah menjadi taman segi tiga Sleman).
Sedangkan infastruktur seperti alun-alun, penjara, markas prajurit
dsbnya, sebagai syarat ibukota, tidak dimiliki.
Di era revolusi, para pegawai pemerintah meninggalkan ibukota Sleman
ikut keluar kota mengatur strategi. Dalam keadaan demikian perkantoran
pemerintahan Kabupaten Sleman menjadi sepi dan terjadi “bumi angkut”
oleh gerombolan masyarakat yang tidak bertanggungjawab. Akibatnya
gedung-gedung pemerintah tidak layak lagi menjadi tempat pelayanan
masyarakat.
Periode 1945-1947
Dalam kondisi gedung-gedung pelayanan masyarakat yang memprihatinkan,
Bupati Sleman KRT Pringgodiningrat pada tahun 1947 memindahkan pusat
pelayanan kabupaten ke Ambarukmo, di Petilasan Dalem serta bekas pusat
pendidikan perwira polisi yang pertama di Indonesia (saat ini pendopo
hotel Ambarukmo). Dalam hal ini, Ambarukmo merupakan pusat kegiatan
pelayanan pemerintahan, bukan ibukota kabupaten.
Pada tahun yang sama Bupati KRT Pringgodiningrat diganti oleh
KRT Projodiningrat. Dalam periode ini, tepatnya tahun 1948,
wilayah Kasultanan Yogyakarta mulai melaksanakan pemerintahan
formal. Sesuai dengan UU no. 22 Tahun 1948, penyebutan wilayah
Kabupaten Sleman adalah Kabupaten Sleman.
Pada tahun 1950 Bupati KRT Projodiningrat
digantikan oleh KRT Dipodiningrat hingga
tahun 1955. Selanjutnya, KRT Dipodiningrat
digantikan oleh KRT Prawirodiningrat, yang
menjabat Bupati Sleman hingga tahun 1959.
Pada masa itu pemerintah RI mengeluarkan UU no. 1 tahun 1957
mengenai Pembagian Daerah Republik Indonesia dan Aturan Otonomi
Daerah, maka penyebutan Kabupaten Sleman berubah menjadi daerah
Swatantra. Sebagai implementasinya Departemen Dalam Negeri
menerbitkan peraturan bahwa selain memiliki seorang Bupati yang
diangkat secara sektoral sebagai pegawai Kementrian Dalam Negeri,
Kabupaten juga harus memiliki kepala daerah yang dipilih legislatif
(DPRD).
Dengan
kata lain, dalam periode pemerintahan ini, sebuah kabupaten memiliki 2
(dua) Kepala Daerah. Terpilih sebagai Kepala Daerah Swatantra adalah
Buchori S. Pranotodiningrat. Seiring terbitnya Penetapan Presiden no. 6
Tahun 1959 dan no. 5 Tahun 1960, untuk memberlakukan kembali UUD
1945, pemerintahan Kabupaten Sleman kembali dikepalai seorang
Bupati/Kepala Daerah, yang dijabat oleh KRT. Murdodiningrat.
Periode 1964-Sekarang
Periode 1964-sekarang
Pada tahun 1964, KRT Murdodiningrat
memindahkan pusat pemerintahan ke Dusun Beran, Desa Tridadi Kecamatan
Sleman. Lokasinya menempati bangunan kantor Bappeda Sleman (sekarang).
Pada masa ini pula Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman mulai memiliki
lambang daerah.
Munculnya UU no. 18 tahun 1965 mengenai Hak Otonomi Daerah
ditindaklanjuti DPRD Gotong Royong Daerah Tingkat II Sleman dengan
menerbitkan SK. no. 19/1966 yang mengubah sebutan Pemerintah Daerah
Tingkat II Sleman menjadi Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman, dan DPRD
Gotong Royong Tingkat II Sleman menjadi DPRD Gotong Royong Kabupaten
Sleman. Pada masa tersebut ketua DPRD Gotong Royong dijabat Soekirman Tirtoatmodjo.
Seiring berakhirnya masa keanggotaan DPRD Gotong Royong pada tahun 1971, jabatan ketua DPRD digantikan oleh Soelanto.
Selanjutnya pada tahun 1974, UU no. 18 tahun 1965 digantikan UU no.
5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah. Berorientasi pada
Undang-undang ini pemerintahan daerah Sleman menggunakan penyebutan
Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Sleman.
Pada tahun 1974 KRT. Murdodiningrat digantikan oleh KRT Tedjo Hadiningrat, yang hanya menjabat selama 3 bulan. Selanjutnya posisi bupati dijabat Drs. KRT. H. Prodjosuyoto Hadiningrat,
yang menjabat 2 periode (th.1974-1985) dengan 2 kali penggantian
ketua DPRD. Pada tahun 1977, posisi Soelanto sebagai ketua DPRD
digantikan oleh R. Soelarjo hingga tahun 1982, yang selanjutnya digantikan Samingan H.S.
Pada tahun 1985 Drs. KRT. H. Prodjosuyoto Hadiningrat digantikan Drs. Samirin, yang menjabat selama satu periode (1985-1990). Pada masa jabatannya, Drs. Samirin mengalami sekali pergantian ketua DPRD Sleman yakni pada tahun 1987, Samingan H. S. digantikan Letkol. Sudiyono, yang menjabat 2 periode masa jabatan (1987-1997).
Sumber : Pemerintah Kab. Sleman
Sumber : Pemerintah Kab. Sleman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar